islamsih.blogspot.com - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mulai berkomentar tentang ayat Al Quran. Ahok mengatakan, Surat Al Maidah ayat 51 yang melarang mengambil pemimpin Yahudi dan Nasrani berlaku di Zaman Nabi dan para khalifah yang metode penentuannya dengan cara musyawarah.
Sedangkan di era demokrasi, metode penentuan pemimpin dilakukan dengan cara pemilihan umum.
"Surat Al-Maidah sebut, 'jangan jadikan Yahudi dan Nasrani jadi pemimpinmu'," kata Ahok, Rabu (30/3/2016), seperti dikutip Viva.
Padahal, sepemahamannya, pada saat mempelajari agama Islam di SD dan SMP di Belitung Timur, Surat Al-Maidah mencantumkan larangan karena di zaman Nabi, khalifah atau pemimpin dipilih melalui cara musyawarah antara tokoh-tokoh masyarakat.
Saat itu, umat belum mengenal demokrasi yang kini dianggap sebagai cara paling ideal untuk menunjukkan kedaulatan rakyat dalam jalannya pemerintahan.
"Zaman Nabi, konteksnya (Surat Al-Maidah) pada saat itu belum ada pemilihan," lanjutnya.
Ayat yang dimaksud oleh Ahok adalah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Sedangkan di era demokrasi, metode penentuan pemimpin dilakukan dengan cara pemilihan umum.
"Surat Al-Maidah sebut, 'jangan jadikan Yahudi dan Nasrani jadi pemimpinmu'," kata Ahok, Rabu (30/3/2016), seperti dikutip Viva.
Padahal, sepemahamannya, pada saat mempelajari agama Islam di SD dan SMP di Belitung Timur, Surat Al-Maidah mencantumkan larangan karena di zaman Nabi, khalifah atau pemimpin dipilih melalui cara musyawarah antara tokoh-tokoh masyarakat.
Saat itu, umat belum mengenal demokrasi yang kini dianggap sebagai cara paling ideal untuk menunjukkan kedaulatan rakyat dalam jalannya pemerintahan.
"Zaman Nabi, konteksnya (Surat Al-Maidah) pada saat itu belum ada pemilihan," lanjutnya.
Ayat yang dimaksud oleh Ahok adalah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS. Al Maidah: 51)
Sejumlah netizen memprotes pernyataan Ahok tersebut. Sebab menurut mereka, ayat tersebut berlaku kapan saja, bukan hanya di zaman Rasulullah dan para khalifah.
Seorang ulama tabi’in, Muhammad bin Sirin mengatakan,
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
Ilmu ini agama, karena itu, perhatikanlah, dari mana kalian mengambil agama kalian. (HR. Muslim 26 & ad-Darimi 427)
Karena itulah para ulama di masa silam memahami bahwa mengambil guru, termasuk tindakan yang harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Ta’ala. Kita bisa lihat, pernyataan Imam as-Syafi’i, ketika beliau memuji gurunya Imam Malik rahimahumallah. Beliau mengatakan,
رضيت بمالك حجة بيني وبين الله
“Aku ridha Malik sebagai hujjah antara aku dengan Allah.” (at-Tahdzib, 8/10)
Untuk itu, saatnya kita lebih hati-hati dalam memilih sumber ilmu. Terlebih di zaman manusia jauh dari ilmu, sementara media liberal lebih berkuasa mengendalikan pola pikir mereka. Sehingga ustad yang dipilih, harus memenuhi kriteria media liberal itu. Ini persis seperti yang pernah disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ، يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ، وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ، وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ
“Akan datang kepada manusia masa-masa penuh kedustaan. Pendusta dianggap jujur dan orang jujur dianggap pendusta, pengkhianat dianggap amanat, dan orang amanat dianggap pengkhianat.” (HR. Ibnu Majah 4036 dan dishahihkan dalam Shahih al-Jami’)
Pemimpin Seperti Pilot?
Ada banyak pengendara di sekitar kita, ada tukang becak, sopir angkot, sopir bis, sampai sopir pesawat (pilot). Semua ini hanya alat transportasi. Kepentingan kita hanya menumpang, sesuai tujuan yang kita inginkan. Sehingga status semua sopir itu, BUKAN pemimpin. Dalam istilah fiqh muamalah disebut ‘ajiir’, orang yang kita pekerjakan dengan upah tertentu. Dan penumpang sebagai konsumennya.
Memang mereka yang mengendalikan kendaraan. Tapi kita bisa memarahi mereka, ketika mereka teledor dalam mengemudi. Rakyat bisa marah kepada presiden ketika Pak presiden salah, tapi rakyat tidak bisa memarahi presiden. Marah bisa, memarahi tidak bisa.
Karena itu, sangat aneh jika ustad menyamakan pemimpin dengan pilot. Dalam ushul fiqh disebut qiyas ma’al fariq… analogi yang tidak nyambung.
Pilot hanyalah seorang ajiir, orang yang diupah. Sementara pemimpin negara atau gubernur, mereka bisa menetapkan kebijakan yang mengendalikan rakyatnya.
Semoga Allah membimbing kami dan para dai kaum muslimin ke jalan yang benar…
Hukum Memilih Pemimpin Kafir
Terdapat banyak dalil yang melarang memilih orang kafir sebagai pemimpin. Diantaranya,
Firman Allah,
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai kaum mukminin.” (QS. an-Nisa: 141).
Al-Qadhi Ibnul Arabi mengatakan,
إنَّ الله سبحانه لا يَجعل للكافرين على المؤمنين سبيلاً بالشَّرع، فإن وجد فبِخلاف الشرع
Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan menjadikan orang kafir untuk menguasai kaum mukminin secara aturan syariat. Jika itu terjadi, berarti menyimpang dari aturan syariat. (Ahkam al-Quran, 1/641)
Allahu juga berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah rasul-Nya dan ulil amri diantara kalian.” (QS. an-Nisa: 59)
Kalimat ‘min-kum’ yang artinya diantara kalian, maknanya adalah diantara kaum muslimin. Sehingga, mereka tidak boleh memilih pemimpin non-muslim.
Ketika menafsirkan surat Ali Imran ayat 118, Al-Qurthubi mengatakan,
نَهى الله المؤمنين بِهذه الآية أن يَتَّخِذوا من الكُفَّار واليهود وأهل الأهواء دُخلاءَ ووُلَجاء يُفاوضونهم في الآراء، ويُسندون إليهم أمورَهم
Allah melarang kaum mukminin, berdasarkan ayat ini untuk memilih orang kafir, orang yahudi, dan pengikut aliran sesat untuk dijadikan sebagai orang dekat, orang kepercayaan. Menyerahkan segala saran dan pemikiran kepada mereka dan menyerahkan urusan kepada mereka. (Tafsir al-Qurthubi, 4/179).
Ulama Sepakat, Memilih Pemimpin Kafir, Dilarang
Ulama sepakat, memilih pemimpin kafir hukumnya terlarang.
Al-Qadhi Iyadh mengatakan,
أجمع العلماءُ على أنَّ الإمامة لا تنعقد لكافر، وعلى أنَّه لو طرأ عليه الكفر انعزل
Para ulama sepakat bahwa kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada oranng kafir. Termasuk ketika ada pemimpin muslim yang melakukan kekufuran, maka dia harus dilengserkan. (Syarah Sahih Muslim, an-Nawawi, 6/315).
Ibnul Mundzir mengatakan,
إنَّه قد “أجمع كلُّ مَن يُحفَظ عنه مِن أهل العلم أنَّ الكافر لا ولايةَ له على المسلم بِحال
Para ulama yang dikenal telah sepakat bahwa orang kafir tidak ada peluang untuk menjadi pemimpin bagi kaum muslimin apapun keadaannya. (Ahkam Ahlu Dzimmah, 2/787)
Al-Hafidz Ibnu Hajar bahkan memberikan keterangan lebih sangar,
إنَّ الإمام “ينعزل بالكفر إجماعًا، فيَجِب على كلِّ مسلمٍ القيامُ في ذلك، فمَن قوي على ذلك فله الثَّواب، ومَن داهن فعليه الإثم، ومن عَجز وجبَتْ عليه الهجرةُ من تلك الأرض
Sesungguhnya pemimpin dilengserkan karena kekufuran yang meraka lakukan, dengan sepakat ulama. wajib kaum muslimin untuk melengserkannya. Siapa yang mampu melakukan itu, maka dia mendapat pahala. Dan siapa yang basa-basi dengan mereka, maka dia mendapat dosa. Dan siapa yang tidak mampu, wajib baginya untuk hijrah dari daerah itu. (Fathul Bari, 13/123)
Fatwa-fatwa yang disampaikan para ulama di atas, berdasarkan hadis dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu,
بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Kami berbaiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk selalu mendengar dan taat kepada pemimpin, baik dalam suka maupun benci, sulitan maupun mudah, dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian melihat kekufuran secara nyata dan memiliki bukti yang kuat dari Allah.” (Muttafaq ‘alaih)
Hanya saja, perlu diperhatikan, untuk masalah melengserkan pemimpin non muslim, para ulama memberi catatan, bahwa upaya itu tidak boleh dilakukan jika memberikan madharat yang besar bagi masyarakat.
Jika upaya menggulingkan pemerintah bisa menimbulkan madharat yang besar, menimbulkan kekacauan bahkan banyak korban, ini jelas tidak diperkenankan.
Namun, setidaknya kalimat ini, menjadi peringatan, kita tidak boleh memilih pemimpin yang non muslim.
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits
[Konsultasisyariah.com]
[bersamadakwah]
sumber lain : tempo.co